Masukkan Code ini K1-Y7F151-A
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Jumbuhing Kawulo Gusti: Jalan Menuju Ingsun Sejati dan Urip Sejati

Jumbuhing Kawulo Gusti: Jalan Menuju Ingsun Sejati dan Urip Sejati
Penulis: AN Ubaedy
30-09-2009
Jumbuhing Kawulo Gusti
Nilai-nilai spiritual Jawa mengajarkan kita agar selalu membangun hubungan yang harmonis dengan Sang Gusti atau Tuhan atau biasa disebut dengan istilah jumbuhing kawulo Gusti. Jumbuh itu hubungan yang baik atau hormonis. Kata “ing” di situ bisa kita pahami seperti kata “ing” dalam bahasa Inggris yang kerap berfungsi menjadi Gerund, seperti dalam kata look menjadi looking, search menjadi searching, dan seterusnya, atau Masdar dalam bahasa Arab.
Lalu siapa itu kawulo? Menurut nilai-nilai spiritual Jawa, kawulo itu kita semua. Semua orang adalah kawulo atau hamba. Tugas kawulo adalah menjalankan apa yang diperintahkan Gustinya. Meski manusia itu diposisikan sebagai kawulo, tapi pengertian kawulo di sini bukan kawulo yang manut asal manut secara pasrah-kalah atau pasif-lemah, seperti layaknya kawulo pada manusia.
Pengertian kawulo dalam ajaran spiritual Jawa adalah hamba yang menyadari tugas utamanya, potensi yang ada di dalam dirinya, atau peranan yang harus dijalaninya. Ini bisa kita lihat dari pesan-pesan fundamental dalam pewayangan. Secara umum, pewayangan mengajarkan tiga hal kepada kawulo:
Pertama, kawulo perlu menyadari bahwa di dunia ini ada kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kesalehan, kesalahan dan kebenaran, energi positif dan energi negatif, dan seterusnya.
Kedua, tugas kawulo adalah memilih atau tepatnya memperjuangkan yang positif, yang baik, yang saleh dan melawan yang tidak baik, yang menyimpang, atau melawan energi negatif. Kawulo punya tugas berjuang, bukan menunggu nasib atau pasrah pada keadaan atau terlalu memberi toleransi pada keburukan.
Ketiga, memberikan bukti sejarah atau fakta-fakta realitas bahwa siapa yang memperjuangkan kebaikan, kebenaran, kemaslahatan itu akhirnya pasti mendapatkan kemenangan, meski di tengah-tengahnya, sering mengalami kekalahan oleh kekuatan jahat. Kita disuruh mencontoh Pendawo atau Satria dan dilarang mencontoh kehidupan Kurowo dan kroninya.
Jadi, kawulo di situ adalah pejuang gagasan, ide, nilai-nilai, atau prinsip sebagai bukti keharmonisan hubungan. Sedangkan untuk istilah Gusti, masyarakat Jawa tempo dulu menggunakannya untuk menyebut orang atau Dzat yang tinggi atau Yang Maha Tinggi. Karena itu, untuk menyebut Tuhan, disebutnya Gusti Allah. Sedangkan untuk pembesar masyarakat, seperti raja disebutnya gusti. Bahkan sampai sekarang, putra kyai di Jawa masih dipanggil gus, seperti Gus Dur, Gus Mus, dan seterusnya, entah itu singkatan dari den bagus atau gusti (orang yang punya derajat tinggi).
Terlepas apapun pengertiannya, tapi dari sini bisa kita lihat bahwa masyarakat Jawa tempo dulu sudah mengalami transformasi spiritual yang cukup dahsyat, sama seperti bangsa-bangsa besar lain di dunia, seperti Yunani, Mesir, dan lain-lain, yang membuat mereka punya basis yang kuat untuk berkesimpulan bahwa di jagat raya ini ada kekuatan agung yang disebutnya Gusti atau Tuhan.
Karena itu, menurut nilai-nilai spiritual Jawa, orang yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan di abad milinium ini dianggapnya sangat ketinggalan zaman, yang disebabkan oleh ketertinggalannya membaca ayat-ayat (tanda-tanda) alam atau dianggap sebagai orang yang spiritualnya tidak mengalami developing.


Ingsun Sejati Sebagai Proses
Memahami seperti apa itu Ingsun Sejati memang rumit. Ini tidak hanya di nilai-nilai spiritual Jawa. Di kajian Psikologi atau HRD (Human Resource Development) sekali pun, penjelasan mengenai diri (ingsun) sejati (real / truth) itu tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata yang ada. Cuma, baik di Jawa atau di ilmu pengetahuan modern, menjadi Ingsun Sejati itu bukan hasil, melainkan proses yang terus menerus perlu diperjuangkan oleh kawulo.
Dari perspektif spiritual, bisa disimpulkan bahwa menjadi Ingsun Sejati itu baru bisa diraih apabila kita sudah selalu menjalankan kesadaran untuk berperan di berbagai bidang yang tujuan dan caranya adalah kebaikan, kebenaran, atau kemaslahatan, baik itu untuk diri sendiri dan orang lain, karena kita menyadari itulah perintah Gusti kepada kita dan itulah alasan kenapa Gusti itu memberikan sekian anugerah dan nikmat kepada kita.
Kalau kita lihat di kajian ilmu pengetahuan modern, sebagian besar esensi dari Ingsun Sejati itu sama, kecuali pada tujuan akhir dan pada penjelasan yang lebih konkret untuk cara berpikir yang dianut orang sekarang. Di kajian ilmu pengetahuan, Gusti tidak dinyatakan sebagai tujuan akhir dari proses penggalian karena (mungkin) dinilai masuk wilayah pribadi. Esensi Ingsun Sejati kalau merujuk pada kondisi modern saat ini, bisa kita lihat dari beberapa indikatornya seperti berikut ini, antara lain :
1)      Eling lan waspada: eling maksudnya yakni tidak akan kehilangan persepsi obyektif dan rasional terhadap dirinya dan ingsun sejati punya pemahaman, dan punya penerimaan yang akurat terhadap dirinya. Tanda-tandanya adalah tidak minder dan tidak berlebihan; tidak rendah-diri dan tidak pula tinggi hati; tidak inferior dan tidak superior.
Eling lan waspada juga mencakup kemampuan berkesadaran terhadap munculnya berbagai emosi dan rasa yang muncul, disertai dengan kemampuan mengolah roso-nya. Tanda-tandanya adalah punya kemampuan dalam menangani persoalan dengan proporsional, punya kendali diri yang pas, tidak kurang tidak lebih, tidak berlebihan menanggapi kesenangan atau kesedihan, tetap bisa fokus pada hal-hal positif di tengah kekacauan atau kemapanan, tidak menjadi sombong dan lupa diri (dumeh)
2)      Unggah ungguh: punya kemampuan beretika yang tinggi di dalam menjalankan kehidupannya, mampu mengekspresikan perasaan dan keinginan, rasa – karsa secara konstruktif dan efektif. Tanda-tandanya adalah mampu memikirkan dan memilih sikap dan ungkapan yang bagus dalam berkomunikasi atau mengkomonikasikan sesuatu kepada orang lain, mampu memilih tindakan dengan memikirkan konsekuensinya pada orang lain di luar dirinya atau keluarganya.
3)      Sumarah, sumeleh dan sumrambah: ketiga elemen ini jika di satukan secara umum digambarkan seperti punya kematangan dan keberlimpahan emosi, bahagia pada dirinya (contentment) atau punya kemandirian mental, kesabaran yang benar, tidak mudah tertusuk perasaannya oleh orang lain, tidak mudah merasa merana, rasional dalam menyelesaikan persoalan, tidak mudah terbuai oleh hal-hal yang menipu, serta mampu merantasi hidup yang penuh tantangan dan persoalan. Deskripsi ini sebenarnya masih belum cukup untuk menggambarkan ketiga elemen tersebut.
4)      Aktualisasi diri : punya tujuan yang terus direalisasikan dengan mengembangkan potensi. Tandanya antara lain: memiliki langkah hidup yang dinamis, punya kemauan belajar, berani bereksperimentasi ide-ide baru, tetap memiliki perhitungan, membutuhkan orang lain namun tidak mengandalkan mereka.
Atau dengan kata lain, orang yang belum menemukan Ingsun Sejati-nya akan kurang bisa berperan sesuai dengan dirinya dan lingkungannya karena terhalangi oleh penilaian yang me-minder-kan dirinya atau penilaian yang meng-over-kan dirinya sehingga menjadi sombong atau berlebihan. Itulah kenapa, menurut penulis buku Healing The Child Within, Dr. Charles L. Whitfield, M.D (1989), kalau kita ingin tahu the real self kita, lihatlah anak-anak kecil yang terbebas dari rasa minder dan over ketika bereksplorasi atau mengembangkan diri (free to grow, to develop, dst).
Menuju Urip Sejati
Definisi Urip (Hidup) Sejati tidak tunggal dan tidak bisa ditunggalkan juga. Kalau mau pakai yang pasti benarnya, Urip Sejati itu adanya nanti setelah kita meninggal dunia atau di negeri akhirat dimana ruang untuk memilih dan memperjuangkan sudah tidak dibuka. Tapi, untuk konteks hidup di dunia ini, pengertian Urip Sejati itu yang benar memang tidak pernah ada titiknya, karena dunia sendiri itu ruang untuk berproses.
Jika dikembalikan pada nilai-nilai spiritual Jawa, Urip Sejati itu baru akan terwujud saat kita sudah sanggup menjalani hidup di alam Kasunyatan di dunia ini. Kasunyatan sendiri artinya the true reality yang merupakan esensi dari diri kita dan dunia ini. Seperti kita tahu, baik kita dan dunia ini mengandung realitas yang materi (beserta simbolnya, seperti uang, pekerjaan, dst) dan realitas non-materi (beserta representasinya, seperti nilai, prinsip, Tuhan, dst).
Begitu kita sudah mulai belajar (berproses) untuk menjalani hidup berdasarkan realitas materi dan non-materi, maka kita sudah berada pada jalur hidup yang menuju Urip Sejati. Kalau niat kita kerja hanya untuk mencari materi saja, itu belum Urip Sejati. Sama juga kalau kita mengabaikan materi dengan lari ke gunung. Yang Sejati adalah materi dan non-materi dengan menempatkan diri kita sebagai kawulo bagi Tuhan dan penguasa bagi diri sendiri atau ber-topo (tapa).
Dari sini bisa dipahami bahwa alam Kasunyatan sendiri tak bertepi atau lebih tepatnya bisa disebut ruang hampa yang menawarkan kesempatan berproses tak terbatas, sesuai kemampaun dan keterbatasan kita masing-masing. Biasanya, padanan dari Kasunyatan adalah Kadonyan, yang diambil dari kata donyo atau duniawi. Duniawi sendiri, kalau merujuk ke asal katanya dari bahasa Arab, adalah pendek, rendah, atau dekat. Orang yang hanya berkonsentrasi untuk urusan duniawi semata disebutnya orang yang berjiwa pendek, memperjuangkan sesuatu yang tidak mulia atau hanya berpikir untuk sesuatu yang nyata-nyata saja (dekat).
Nah, paham hidup duniawi ini menjadi lawan dari paham hidup keimanan (kasunyatan). Karena itu, dalam agama dikatakan bahwa syarat untuk menjadi orang yang bertakwa adalah mengimani yang tidak nyata (the invisible), seperti nilai-nilai, prinsip hidup yang sudah pasti benarnya menurut siapapun, Tuhan, dan lain-lain. Bertakwa adalah bahasa lain dari Jumbuhing Kawulo Gusti.
Semoga bermanfaat.


Sumber : http://terrajawa.net/

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

LimeExchange: Projects

Teman