Masukkan Code ini K1-Y7F151-A
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Malu Menjadi Orang Jawa

Malu Menjadi Orang Jawa ?
Penulis: Tarajayanti
08-01-2010
Dijaman modern ini masih banyak orang yang ragu atau malu mengakui dirinya sebagai Orang Jawa, orang Indonesia bersuku Jawa, terutama mereka yang pernah merasakan sebuah stigma sosial yang pernah dilekatkan pada suku Jawa, antara lain Jawa itu identik dengan ketertinggalan, kampungan, primitif, tidak modern, tidak masuk akal, dsb.  Akibatnya, identitas sebagai bagian dari masyarakat Jawa tidak lagi membawa kebanggaan karena stigma sosial seperti itu, bahkan merasa malu karena “takut” dianggap masih kampungan.  Stigma sosial lainnya adalah persepsi yang diajarkan selama ini bahwa dengan menghargai identitas kesukuan maka kita akan menciptakan jurang perbedaan dan bisa mengancam integrasi sehingga harus dihilangkan.  Justru kedua alasan itu adalah kekeliruan yang besar dan tidak bisa dipakai lagi dijaman sekarang, karena bisa berakibat buruk bagi kita semua.

Benarkah Budaya Jawa itu Primitif ?
Benarkah orang Jawa itu tertinggal/ terbelakang ?  Jika tertinggal, mengapa karya-karya besar perfileman internasional yang berteknologi canggih memilih tema yang compatible dengan kejawaan ? Misalnya seperti film Star Wars, Battle Star Galactica, Harry Potter, Transformer dan film fenomenal saat ini Avatar.  Bahkan sebagian orang bisa ber-sangkan paraning dumadi melalui film-film itu sambil terpesona dan heran "Kog mereka yang di Barat sana bisa begitu menghargai falsafah yang dimiliki dan dilakoni oleh orang-orang njawani ?"   Bagi mereka yang paham akan nilai-nilai kejawaan, menonton jenis film seperti itu seperti mengingatkan kembali pada jejak budaya yang sampai saat ini masih tersisa dalam suku Jawa.
Compatibility itu dapat dilihat jika kita menontonnya dengan sikap tidak apriori, tidak menghakimi, tidak ketakutan, dan tidak memasang sikap bermusuhan sebelum berpikir lebih jauh.  Dengan begitu kita bisa merenungkan dengan jujur: Bagian mana dari kejawaan yang dianggap memalukan jika nilai-nilai yang dianutnya begitu luhur Bagaimana bisa dikatakan primitif jika nilai-nilai kearifannya mulai giat dipelajari, dimaknai dan diamalkan disaat modernitas nyatanya membawa kerugian terhadap alam dan seisinya ?   Mari kita mulai ‘membuka mata’ dengan menelusuri sikap diri kita sendiri terhadap beberapa hal berikut ini:

  • Kejawaan menghargai keberadaan makhluk lain sebagai pemegang hak hidup yang sama. Setiap mahluk saling melindungi, saling memberi, saling menolong, bukan saling menyalahkan atau saling menghancurkan. 

  • Manusia modern lebih suka mengkonsumsi, merusak lingkungan tanpa mempedulikan ekologi, dan memupuk naluri membunuh.  Hutan dijual untuk dibabat, dibakar dan dijadikan perkebunan atau pemukiman tanpa memperhatikan kesehatan lingkungan dan kelestarian alam raya. 
  • Pohon-pohon besar dirusak dengan alasan yang tidak masuk akal, misalnya dikatakan musyrik, tempat tinggal hantu, kotor, takut disembah oleh masyarakat, dsb.  Padahal pohon itu sendiri mengandung banyak sejarah dan terkait dengan kehidupan mahluk lainnya. 
  • Orang-orang Njawani "yang dicap primitif" itu nyatanya lebih mampu memelihara keseimbangan alam, sedangkan yang merusak tatanan alam tanpa tanggung jawab dan mendatangkan kehancuran nyatanya adalah bagian dari modernitas. 
Nah, apakah kita masih saja menganggap yang modern dan lebih baru itu lebih baik daripada yang dicap primitif, tertinggal, terbelakang, purba?
Apakah Tuhan Memihak ?

Dalam Kejawaan, Tuhan tidak memihak, tapi bisa menentukan dan memutuskan dan menentukan.  Hanya Tuhan saja yang memiliki kriteria penghakiman hakiki.  Manusia sama sekali tidak berhak dengan seenaknya menghakimi.  Kebijakan dan kebenaran Tuhan sangat luas, sangat dalam dan keputusanNya tidak sekedar hitam atau putih, tidak sempit seperti manusia yang serba terbatas.  Amat sangat jauh jika dibandingkan dengan kebenaran yang sekarang dianut di Indonesia yang bersifat parsial, dangkal, egoistik dan hanya mementingkan suatu golongan (tentu saja dengan mengatasnamakan "Tuhan").
Manusia dan budaya Jawa "yang dicap primitif" itu pada kenyataannya lebih arif dan lebih manusiawi daripada manusia dan budaya jebolan agama-agama baru yang sangat memihak, mudah menghakimi dengan alasan yang sangat dangkal dan sama sekali tidak mencerminkan keTuhanan yang sebenarnya sangat universal itu.   Dengan logika ini, kita bisa membandingkan sebetulnya mana yang lebih beradab.
Perempuan dalam Kejawaan
Dalam nilai-nilai Kejawaan yang sesungguhnya, kesetaraan gender sangat dihormati.  Ketika kesetaraan gender di Barat diperjuangkan, hak perempuan Jawa sebelum abad ke 13 sudah terjamin.  Dengan begitu manusia dan budaya Jawa "yang dicap primitif" itu bisa dikatakan lebih maju dan lebih modern daripada manusia dan budaya di Indonesia (bahkan di dunia) saat ini.  Perempuan tidak 'dikambinghitamkan', tidak diperlakukan bagai budak, tidak dianggap hanya sebagai objek seksualitas.  Dalam kultur Jawa, perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Kesetaraan ini juga yang mendasari rasa hormat diantara kedua gender, sehingga bagi manusia Jawa, monogami yang bertanggung jawab adalah sebuah hukum alam yang absolut seperti kesatuan sebuah keris dengan warangkanya. Perempuan adalah sigaraning nyawa bagi pasangannya. Ini jelas merupakan sebuah kultur dengan peradaban lebih tinggi, karena hanya manusia dengan peradaban yang tinggi yang mampu menghargai kesetaraan mahluk lain. Sedangkan, peradaban yang lebih rendah melahirkan manusia yang saling membedakan dan saling memperalat.  Peradaban yang luhur selalu didasari dengan nilai yang luhur pula.
Pendidikan dalam Kejawaan
Manusia Jawa "yang dicap primitif" itu lebih lempung untuk dididik menjadi beradab daripada manusia modern yang merasa dirinya sudah hebat dan sangat spesial.  Manusia Jawa ini belajar dari mana saja melalui observasi, insting, penghayatan dan pengalaman hidup ––terutama kehidupan sendiri. Pelajaran hidup haruslah dari pengalaman hidup, bukan hanya dari pemikiran yang tidak memiliki dasar atau yang "apa kata buku".  Dengan kelempungannya itu, manusia Jawa menjadi rendah hati, terbuka dan mau menerima ajaran dari berbagai sisi karena mengerti bahwa aspek dalam hidup ini sangatlah banyak, luas dan tidak bisa dibakukan oleh batasan-batasan yang dibuat oleh manusia.  Berbeda dengan manusia “modern” yang malah merasa sudah sangat pintar dan paling benar sehingga sudah cukup bagi mereka pengetahuan yang ada didalam kepala, tidak perlu dirasa sebagai pengalaman nyata dalam hidup. Akibatnya, kita yang manusia modern ini seringkali besar kepala tapi kerdil pribadinya. 
Jagad Raya dalam Kejawaan
Orang-orang Njawani percaya bahwa jagad raya terdiri dari begitu banyak hasil kreasi Tuhan. Bumi tempat kita berpijak hanya sebuah kenyataan dari sekian banyak, bukan satu-satunya kenyataan yang benar.  Dengan pengertian ini, manusia Jawa "yang dicap primitif" itu bisa menerima kebesaran Tuhan yang tidak terhingga, karena tidak mungkin merumuskan kebesaran itu dengan memakai pikiran manusia yang sempit dan dangkal yang malah mereduksi kebesaran Tuhan kedalam kenyataan yang hanya sebesar ukuran buku kitab-kitab.
Masih banyak hal yang semestinya membuat kita tidak perlu malu menjadi Jawa dan mengakui keluhuran peradabannya, asalkan kita mau rendah hati mencari dan menggalinya.  Kekayaan adab dan budaya asli Jawa tidak se-primitif yang selama ini diberikan, dan label itu sudah saatnya kita tanggalkan.

Menghargai Kebudayaan Asli = Disintegrasi ?

Ketakutan terhadap primodialisme itu sebenarnya tidak lagi pada tempatnya. Sejarah menunjukkan bahwa berbagai suku yang ada di Nusantara pernah bersatu menjadi sebuah kesatuan yang kuat dan tali perekatnya adalah Bhineka Tunggal Ika.  Nusantara hancur dimasa lampau justru ketika kebhinekaan ini runtuh dan kita tidak lagi punya solidaritas apapun. Ketika identitas suku ditiadakan, kita lari pada identitas agama yang malah memperlebar jurang perbedaan dan memperuncing perseteruan didalam tubuh bangsa Indonesia.  Saat ini, solidaritas agama sangat jelas tidak berakar pada Nusantara, bahkan menyebabkan hilangnya rasa cinta pada kebhinekaan.  Terlebih lagi, sudah puluhan tahun identitas keagamaan juga tidak menjadikan Indonesia lebih makmur, lebih sejahtera atau lebih tenteram ––malah lebih miskin, lebih rentan dan lebih mengkhawatirkan.
Mau tak mau kita harus mengakui bahwa kegagalan persatuan bukan disebabkan oleh identitas pribadi ataupun identitas kelompok, tapi lebih disebabkan oleh ketidakmampuan setiap kelompok dan setiap pribadi untuk menerima perbedaan yang ada diluar dirinya.  Kita lebih suka diseragamkan dan menyeragamkan, bukan menghargai bahwa berbeda adalah hak setiap pribadi ––dan sah-sah saja untuk berbeda.
Keturunan dari suku/ etnis apapun, bersatu di dalam keIndonesiaan adalah sebuah keharusan.  Identitas suku tidak semestinya dijadikan sebagai dasar/ landasan kepribadian, begitu juga dengan identitas lainnya (agama, ras, golongan).  Contoh misalnya “Saya orang Indonesia, suku Dayak, agama Katolik” tentunya jadi sangat berbeda jika kita mengatakan “Saya orang Dayak yang tinggal di Indonesia”.  
Memang, setiap kita harus memiliki identitas agar kita memiliki akar (berakar). Jika tidak, kita akan menjadi manusia yang labil dan tidak menentu. Orang yang labil akan mudah dipengaruhi dan identitasnya mudah digantikan oleh identitas lain ––yang belum tentu lebih baik. Ibarat pohon yang tumbuh di tanah dangkal, kena angin kencang sesaat saja sudah roboh. 
Sudah selayaknya kita menghargai akar budaya identitas kita, tapi dengan catatan, tidak menjadi arogan atau menganggap identitas kita itu sebagai atribut pribadi atau merek/ brand diri kita.  Kita harus menghormati sejarah dan para leluhur kita, tapi itu juga tidak perlu berlebih-lebihan. Karena bagaimanapun juga, kita tetap harus sadar dan menerima bahwa bukan suku yang membuat diri kita berharga, bukan pula agama, bukan pula status ataupun posisi, tapi taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak pribadi dan kualitas karya, itu yang membuat kita berharga!   Semoga bermanfaat.

Sumber : http://terrajawa.net/

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

LimeExchange: Projects

Teman