Masukkan Code ini K1-Y7F151-A
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

SAATNYA TAK ADA LAGI PUTIHAN DAN ABANGAN DI JAWA

Putihan Abangan
Penulis: A.N Ubaydillah
05-01-2010

SAATNYA TAK ADA LAGI
PUTIHAN DAN ABANGAN DI JAWA


Jarak Pergaulan Sosial

Jika mengikuti pembahasan tentang asal-usul istilah putihan abangan di Jawa melalui literatur-literatur terkait, kita mungkin akan “terjebak” pada perdebatan yang tak ada habisnya, malah bisa merembet pada urusan “apakah Jawa yang dimaksud itu suku Jawa atau Nusa Jawa (Nusantara) seperti istilah yang dipakai Denys Lombard? (Denys Lombard adalah sejarawan Perancis yang telah meneliti kebudayaan Indonesia selama 30 tahunan)

Istilah putihan abangan di Jawa tidak hanya ada dalam literatur. Kira-kira 30 tahun lalu waktu saya masih kecil, anak-anak Pak Lurah dan keluarga besarnya ––yang sebagian besar berprofesi sebagai guru SD/SMP–– menyebut saya dan kawan-kawan sebagai cah santren (kaum santri). Untuk menandingi sebutan itu, orang-orang dewasa di sekitar saya mengajari sebutan terhadap anak-anak Pak Lur dan keluarga besarnya itu cah abangan atau cah etanan (kaum timuran, lawan dari barat yang merupakan simbol kiblat).

Meskipun satu kampung, ada jarak tak terlihat yang membuat hubungan sosial kami bagai minyak dan air dalam satu botol.  Apakah kami berbeda agama, asal-usul daerah atau suku? Tidak. Bahkan dalam beberapa hal kami satu pikiran, misalnya dalam pelaksanaan upacara nyadran atau selamatan di kuburan yang dimeriahkan dengan tontonan wayang semalam suntuk, nyewu atau selamatan untuk seribu hari meninggalnya keluarga, dll.

Selain itu, buku teks pelajaran agama yang berbahasa asli Arab, tidak diajarkan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau Arab seperti yang dilakukan sekolah-sekolah saat ini, melainkan dengan bahasa Jawa yang halus (refined language) dengan standard yang sudah dibakukan sebagai hasil proses kreatif orang-orang dulu. Kata-kata yang diajarkan itu lebih bagus dibanding pengajaran bahasa Arab di negara-negara Arab sana, sehingga muncul ungkapan “kalau orang Jawa tidak bisa menterjemahkan teks Arab ke dalam standard Jawa itu artinya penguasaan grammar bahasa Arab yang kurang mantap”.

Bukan hanya status sosial saja yang membelah masyarakat Jawa, pilihan profesi, pekerjaan bahkan pemberian nama juga menambah lebar pembelahan itu.  Misalnya, profesi seperti lurah, camat, bupati, polisi, artis dan sejenisnya bisa menjadi petunjuk bahwa mereka berasal dari keluarga abangan. Sedangkan profesi seperti guru agama, pegawai KUA, pembicara publik dan sejenisnya hampir bisa dipastikan mereka dari keluarga santren. Begitu juga dalam pilihan akademik; orang santren sekolah di sekolah Departemen Agama, sedangkan orang abangan di sekolah Departemen Pendidikan Nasional.

Gugurnya Label Sosial

Pak Fachri Ali, seorang pengamat sosial-politik senior, pernah mengatakan bahwa masyarakat Jawa sekarang ini sudah beda. Beliau mengatakan begini kira-kira: “Dulu, Pak Lurah yang kalau hari Jum’at itu enak-enakan merokok dan ngobrol pada waktu orang-orang Jum’atan, sekarang ini malah mempersilahkan tanah atau ruangannya dipakai Jum’atan”.

Secara pribadi saya sangat membenarkan itu, karena terjadi secara nyata dalam hubungan saya dengan anak-anak Pak Lurah dan keluarga besarnya. Ketika sama-sama bertemu di Jakarta, saya yang dulu menyebut mereka wong abangan dan mereka yang menyebut saya wong santren, ternyata secara penampilan bisa dikatakan terbalik. Nada dering telepon genggam saya tidak ada assalamu’alaikum atau nasyid-nya, dan kalau pulang ke kampung saya tidak pernah membawa baju koko untuk pergi masjid atau langgar.  ini sangat berbeda dengan anak-anak Pak Lurah dan keluarga besarnya sekarang. Kalau melihat penampilan, sekarang ini mereka sangat pas jika disebut wong santren dan saya wong abangan. Kalau dulu mereka yang nyekar ke kuburan, sekarang ini malah saya yang melakukannya. Dulu, yang jadi kepala sekolah SD atau SMP itu keluarga mereka, sekarang malah sebaliknya.

Bahkan pilihan akademik, profesi atau jabatan publik tidak lagi bisa dipakai untuk memberi seseorang stempel putihan atau abangan. Anak-anak kampung yang sekarang melanjutkan kuliah di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, apakah mereka mengambil jurusan Manajemen atau Psikologi tidak lagi bisa dibilang orang abangan. Begitu juga dalam hal jabatan misalnya bupati, gubernur, menteri, DPRD, tokoh agama ataupun artis.  

Bahkan melihat dari nama anak-anak sekarang ini juga tidak lagi bisa diberi stempel putihan–abangan begitu. Beberapa kawan yang dulu termasuk wong santren, memberi nama anaknya dengan warna putihan–abangan Jawa, misalnya: arifianto, zakianto, ahmad suharto, dll. Demikian juga kawan-kawan yang dulu termasuk abangan menamakan anak-anaknya misalnya: farhan, ramadhani, imam budiono, dll.

Belajar Dari Masa Lalu

Entah teori sosial apa yang dipakai oleh para pengamat, yang pasti kalau menyimak refleksi mereka tampak adanya indikasi kuat untuk menyimpulkan bahwa masyarakat Jawa saat ini bergerak ke titik awal seperti pada masa Kemerdekaan atau Pra-kemerdekaan dimana kehidupan sosial dan orientasi perjuangan tidak membeda-bedakan asal-usul putihan atau abangan.

Jauh sebelum masa kemerdekaan (pra-kemerdekaan) ada nama Ronggowarsito. Kalau dilihat dari stempel putihan atau abangan, nama itu mestinya dari kelompok abangan. Nama Ronggo, pekerjaan di keraton, lahir dari kalangan keraton, karya-karyanya dipenuhi dengan filosofi Jawa. Ternyata dia adalah santri dengan nama asli Bagus Burhan.  Di masa pra kemerdekaan dan kemerdekaan, ada banyak tokoh yang kalau dilihat dari namanya adalah santri tapi pada prakteknya tidak merasa dirinya putihan atau abangan melainkan pejuang Indonesia. Salah satu contohnya adalah Wahid Hasyim ayahanda Gus Dur.

Apa yang membuat masyarakat dimasa itu bisa berkohesi secara “kimiawi” dan sinergis sehingga melampaui pengaruh label sosialnya? Dilihat dari bagaimana ajaran agama itu dipahami dan bagaimana warisan kultur lokal itu diterjemahkan, memang bisa kita lihat perbedaannya. Walaupun Ronggowarsito itu belajar di pesantren tidak sampai sarjana, ternyata yang diserap itu adalah esensinya dengan tingkat penalaran yang cukup tinggi, sehingga agamanya tetap agama itu dan Tuhannya juga tetap Tuhan.  Begitu juga dengan wayang.  Wayang dulunya bukan simbol abangan, karena didalamnya mengandung tuntunan spiritual yang dikemas dalam tontonan.

Ini mungkin agak beda dengan apa yang terjadi pasca Kemerdekaan.  Bisa saja di KTP seseorang itu beragama Islam, tapi dalam praktek bukan Islam agamanya ––yang punya arti sikap hidup tunduk pada Tuhan–– melainkan aliran misalnya Sunni, Wahabi, Syiah, Maliki, Syafei, NU, Muhammadiyah, Persis, Wahidiyah, Siddiqiyah, Moderat, Fundamentalis, dll. Tuhannya pun belum tentu Tuhan yang mencintai pemberdayaan manusia melainkan nafsu yang membegal potensi manusia.

Disamping itu, terutama di masa Pra dan Kemerdekaan memang ada faktor eksternal yang mendukung, terkait dengan kesamaan orientasi perjuangan masyarakat yaitu penjajahan fisik.  Dengan pendudukan penjajah, tokoh-tokoh itu bersatu bagaimana melawan/ mengusir penjajah sehingga orientasi perjuangannya menjadi sehati–sejiwa. Sekarang ini, walau kita sering bilang penjajah itu masih ada, tapi sepertinya kok belum ada yang berhasil mem-fisik-kannya sehingga kita merasa dalam satu barisan peperangan melawan penjajahan.

Dinamika Positif
Dinamika “alamiah” pada masyarakat Jawa itu secara pembangunan perlu kita maknai sebagai potensi positif. Dengan meleburnya sekat sosial berarti jarak psikologis antar aset pembangunan (generasi muda) sudah menyatu. Persatuan adalah modal segala pembangunan SDM dan SDA. Hanya saja selalu ada yang harus kita uji bersama, terutama motif dan orientasi.

Jika belajar dari masyarakat masa lalu, motif kita meniadakan sekat adalah adanya penalaran bahwa ajaran dan merek agama yang kita anggap berlawanan dengan kultur itu sejatinya datang dari pemahaman kita tentang agama atau tentang nilai-nilai kultur yang perlu disentuhkan pada esensinya, bukan hanya pada limbahnya atau (meminjam istilah Gus Dur) harus mendapatkan telornya bukan kotorannya. Jadi, persenyawaan nilai lah yang perlu kita munculkan.

Kesadaran pun perlu kita munculkan bahwa kita sudah capek menjadi korban idiom abangan–putihan yang sudah sulit kita pahami kenapa, kapan atau siapa yang membuat.

Juga jangan sampai dinamika itu kita lalui sekedar mengatasnamakan trend misalnya trend nikah di Makkah maka kita nikah sambil umrah, trend baju koko maka kita pakai baju koko, karena trend pejabat yang berasal dari aktivis mahasiswa santri maka kita menamai anak kita dengan nama santri supaya mudah jadi pejabat. Kenapa mengikuti trend begitu perlu kita waspadai ? Karena, yang tidak berprinsip dan tidak berbasis penalaran sama seperti buih cucian, begitu kena udara, angin, atau arus maka dia akan hilang. Meminjam istilah Tao, kita habis-habisan mengikuti trend yang hanya akan seumur jagung tapi kita tidak kuat mengakar, sehingga kita gampang bersatu, gampang diadu domba, gampang dipecah-belah. Bisa saja anaknya orang santri nanti disebut wong abangan atau anak orang abangan nanti disebut wong santri, sekadar kebalikan dari apa yang saya alami dulu, bukan sebagai Wong Indonesia.

Kelompok Non–Abangan–Putihan 
Disamping dinamika positif, ada dinamika lain yang bagi banyak kalangan dinilai berpotensi destruktif bagi pembangunan Indonesia secara keseluruhan.  Jika membaca tulisan Pak Masdar Mas’udi, ketua PBNU Jakarta di Kompas (11/09/09) dan ungkapan senada dari beberapa tokoh, memang akhir-akhir ini sedang tumbuh kelompok yang tidak memiliki kohesi historis atau persamaan kimiawi dengan proses agama–kultur di Indonesia.

Mereka adalah orang yang hanya tinggal di Indonesia tapi jiwanya bukan orang Indonesia.  Akibat dari terputusnya kohesi historis itu maka mereka dengan mudah menyalahkan praktek keagamaan yang bersinergi dengan kultur, dan sama sekali tidak peduli dengan nilai-nilai kultur.  Mereka membawa frame pandangan hidup beragama dan berbangsa dari luar, juga gampang marah sehingga mudah mengeluarkan aksi kekerasan dengan argumen agama, demokrasi, seni, HAM, dll.

Dilihat dari sini, memang kewaspadaan tetap dibutuhkan disamping juga penyambutan yang baik. Kita perlu menyambut gugurnya sekat sosial minimal secara definisi mental, seperti halnya menyambut peluang bisnis, namun tetap mewaspadai cara dan sikap keberagamaan dan kebangsaan yang tidak mau memahami akar historis kita. Semoga bermanfaat.

Sumber : http://terrajawa.net/

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

LimeExchange: Projects

Teman