Masukkan Code ini K1-Y7F151-A
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Kitab Kutara Manawa

Kitab Kutara Manawa
Penulis: Tarajayanti
05-10-2009
Hukum Adat, Masih Adakah?
Hukum di Indonesia saat ini masih sangat dibatasi oleh kerangka moralitas dari sebuah agama, yaitu agama mayoritas. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan konsitusi negara kita, sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya mengakui sebuah agama saja. Dalil yang mengatakan bahwa mayoritas berhak meletakan dasar Negara pada agama yang berpengikut terbesar jelas menentang konstitusi dan hukum yang berkenaan dengan agama tersebut. Sebab, dalil ini berarti mengakar pada sebuah motto bahwa “mayoritas berhak menjadi tirani karena jumlah, bukan kebenaran”. Hukum yang benar dan adil semestinya berdasarkan pada hukum universal yang kebenarannya bisa diterima oleh semua agama, misalnya “tidak ada seorang manusiapun yang berhak menjadi Tuhan bagi manusia lainnya”, itu adalah sebuah hukum yang sah dan diterima oleh semua agama – apalagi agama di Indonesia yang mengakui kekuasaan absolut hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Berarti, menjadikan seorang manusia berkuasa penuh diatas manusia lain merupakan penghinaan bagi keMaha-Tunggalan Tuhan yang dipercayai oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian, hukum yang dibuat oleh manusia tidak luput dari kesalahan manusia yang menggunakan hukum itu.
Kegagalan yang paling utama dari produk hukum yang sekarang ini seringkali dibicarakan dan dipertentangkan adalah ketidakmampuan melihat moralitas dan hukum dalam kacamata yang luas. Hukum dan ukuran moral yang ada sekarang ini sudah direduksi kedalam satu definisi dan satu ukuran saja bahwa hukum yang benar hanya bisa dilihat dari satu sisi saja yaitu hukum agama mayoritas, dan ukuran moralitas hanya seputar urusan seksual. Padahal, pembatasan ukuran moralitas padaseksualitas justru mengkerdilkan sebuah ajaran yang semestinya sangat luas. Oleh karena itu, sekali lagi,  hukum yang benar dan adil seharusnya selalu bersifat universal.
Mungkin sudah saatnya kita merenungkan hukum adat yang berakar di tanah kita sendiri, yang ada sebelum runtuhnya bangsa ini terhadap pengaruh manapun. Dari sana, kita bisa menilai hukum yang mana yang lebih adil, lebih sesuai dengan bangsa kita sehingga hukum di tanah air ini bisa tumbuh tanpa pertentangan lagi. 
Kutara Manawa versi Slamet Mulyana terbitan 1967 adalah hukum tertulis yang sudah dimodernisasikan. Tentu saja versi ini sudah merupakan adaptasi hukum yang sebelumnya sudah ada di Nusantara. Hukum yang berlaku sebelum Kutara Manawa sudah musnah, sebagian besar karena penghancuran yang dilakukan oleh manusia dalam perpolitikan pada masa masa tertentu. Namun, kita tetap harus bersyukur, Kutara Manawa masih ada untuk dipelajari, dibahas dan dipelihara bersama. Semoga dari Kutara Manawa kita bisa lebih mampu menggali lebih dalam dan lebih jauh peradaban kita sendiri. 


ISI KUTARA MANAWA
Kitab perundang-undangan Majapahit yang disebut Kutara Manawa menurut versi Slamet Mulyana terdiri dari 275 pasal yang dibagi kedalam 19 bab, yaitu:
  1. Umum mengenai denda dan usia minimum terdakwa
  2. Astadusta (pembunuhan dan dusta)
  3. Kawula, perlakuan terhadap hamba
  4. Astatjorah (pencurian)
  5. Sahasa (pemaksaan)
  6. Adol atuku (jual-beli)
  7. Sanda (gadai)
  8. Ahutang apihutang (utang-piutang)
  9. Titipan
  10. Tukon (mahar)
  11. Kawarangan (perkawinan)
  12. Paradara (perbuatan mesum)
  13. Drewe Kaliliran (warisan)
  14. Wakparusya (caci maki)
  15. Dandaparusya (kekerasan terhadap manusia dan hewan)
  16. Kagelehan (kelalaian)
  17. Atukaran (perkelahian)
  18. Bhumi (tanah)
  19. Duwilatek (fitnah)
Dikatakan bahwa dari 275 pasal tersebut, 1 pasal diantaranya rusak dan 2 pasal ternyata mirip dengan pasal sejenis. Pasal-pasal sejenis yang berbeda hanya pada versi panjang dan pendek, diterjemahkan dan dijadikan satu dengan pasal sejenis. Oleh karena itu pasal yang disajikan sebanyak 271 pasal saja.

Sumber : http://terrajawa.net/

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

LimeExchange: Projects

Teman