Masukkan Code ini K1-Y7F151-A
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Keunikan Musik Gamelan 4

Gamelan Jawa - 4
Penulis: Johanes Papu
24-11-2009
Keunikan Musik Gamelan
Berbeda dengan alat musik modern yang semua instrumennya perlu di “stem” agar getaran-getaran musik tidak berselisih, gamelan justru membuat supaya getaran-getaran musiknya “berselisih”. Kalau memakai istilah dari Pak Trustho, di dalam musik gamelan justru ada yang namanya “ngumbang nginsep”, yaitu seperti suara kumbang “wung, wung, wung” (gaung),jadi memang dibuat “jarak”. Tapi uniknya,saat gamelan dimainkan bersama-sama terciptalah sebuah musik yang “hidup”, terjadi pencampuran suara baru yang memberikan kenikmatan “wung wung” – pelayangan bunyi yang enak didengar dan dinikmati. Ini menjadi sesuatu yang sulit dianalisa menurut teori musik, bagaimana instrumen musik dengan getaran-getaran “berselisih” ini bisa menghasilkan musik yang begitu indah.
Keunikan lainnya dalam musik gamelan terletak pada jumlah pemain. Musik Gamelan dapat dimainkan secara tunggal (satu instrumen saja), gabungan 2 – 3 instrumen bahkan hingga 20 instrumen atau lebih (ensembel). Para pemain gamelan profesional itu, baik secara perorangan maupun kelompok, dapat dengan mudah bergabung dengan pemain lain meskipun mereka belum pernah berlatih bersama. Sering pula dijumpai seorang pemain gamelan profesional dapat bertukar alat musik dengan pemain lain dalam suatu pagelaran musik. Hal-hal begini bisa dilakukan karena pada diri para pemain gamelan ini sudah ditanam rasa saling bersimpati, saling mengerti dan saling menghayati satu sama lain. Inilah yang dalam bahasa Jawa disebut “pada rasakake”.
Memainkan gamelan sangat berbeda dengan memainkan alat musik modern. Seorang pemain gamelan harus dapat meresapi kedalaman arti gendhing yang sedang dimainkannya sebab setiap gendhing memiliki makna tersendiri.  Makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam gendhing bisa berupa permohonan kepada Tuhan agar warga memperoleh keselamatan (contoh: Ladrang Sri Wilujeng), rezeki melimpah (contoh: Sri Rezeki), tolak bala (contoh: Sri Dhandang), ucapan syukur atau bisa juga ungkapan kegembiraan (misal: Asmaradana). Dengan makna yang terkandung didalamnya maka musik gamelan seringkali dianggap sakral karena hanya dimainkan saat peristiwa tertentu saja. Gendhing Ketawang Puspa Warna yang direkam dalam piringan emas Voyager (lihat artikel Gamelan Jawa - Bagian 1) biasanya dimainkan untuk menyambut masuknya seorang Pangeran sebagai ucapan salam/ selamat datang.
Gamelan juga digunakan untuk mengiringi tarian seperti tari Serimpi atau tari Bedoyokarena mampu membangun suasana dramatik bagi sebuah tarian sehingga aura tarian itu bisa dihayati dan dirasakan “kedalamannya”. Saat mengiringi wayang musik gamelan juga untuk membangun suasana sehingga cerita yang dibawakan oleh Dalang menjadi “hidup” dan penonton dengan mudah dapat merasakan “suasana”, misalnya suasana perang, damai bahkan romantis.
Falsafah Dalam Musik Gamelan
Jika berbicara tentang pagelaran gamelan atau karawitan, kita mengenal adanya istilah “Pathet”. Pathet dalam Karawitan adalah pembatasan nada atau pembatasan permainan nada. Jadi nada itu tidak dimainkan asal-asalan tapi ada aturan-aturan tertentu. Setiap Pathet itu dikaitkan dengan falsafah kehidupan.
Menurut Pak Trustho, seorang pengrawit senior, ada tiga macam Pathet yang semuanya menggambarkan falsafah kehidupan manusia dari lahir sampai mati: Pathet 6, Pathet 9 dan Pathet Manyuro. Diawali dengan Pathet 6 yang masih sederhana itu menggambarkan bahwa pada awal kehidupan seseorang pola pikirnya itu masih sederhana, belum lengkap, belum dalam. Pada Pathet 9 dimana estetika karawitan, pola garap, pola lagu dan kedalaman rasanya cenderung mulai “menep” (dalam), menggambarkan seseorang yang sudah beranjak dewasa mulai menghadapi berbagai masalah yang harus bisa diatasi.  Kemudian, Pathet Manyuro yang sudah matang penggarapan dan permainannya itu menggambarkan masa tua yang sudah penuh solusi / berpengalaman mengatasi berbagai masalah kehidupannya.
Dalam sebuah pertunjukkan gamelan (karawitan) sudah ada pembagian wilayah kerja, dari pemimpin lagu, pemimpin irama hinggapeng-implementasi irama. Semua unsur itu bekerjasama secara otomatis meskipun tidak ada konduktornya; semua pemain sadar akan perannya masing-masing. Misalnya: seorang pemain kendang (pengendang), karena perannya sebagai pemimpin maka ia harus selalu ingat dengan para pendukungnya (pemangku lagu/ pendukung irama). Ia tidak boleh diktator mentang-mentang pemimpin lalu dengan seenaknya membuat tempo sehingga pemain lain “keteteran” tidak bisa mengikuti irama kendangnya.  Hal begini tidak boleh terjadi dalam pertunjukkan gamelan (karawitan). Demikian halnya dengan para pendukung seperti saron, demung atau instrumen pendukung lain, juga harus bisa menyesuaikan dengan instruksi yang disampaikan oleh pengendang. Begitu juga dengan instrumen yang secara struktural bersifat kolotumik seperti Gong yang mengamini, atau kenong dan kempul yang membagi-bagi kalimat lagu.
Dengan pemahaman mendalam tentang peran masing-masing maka dalam orkestra gamelan terbangun “pengendapan rasa”: tidak emosional, tidak sombong, saling menghargai dan saling melengkapi. Setiap pemain harus sungguh-sungguh bersabar menunggu gilirannya. Misalnya pemukul gong; gong pasti dipukul lebih lambatdibanding dengan yang lainnya, tapi pukulan gong selalu ditunggu, dan jika salah pasti juga akan mendapat kritikan seperti lainnya. Dengan kata lain, bermain musik gamelan mendidik orang untuk bisa mengelola emosi dan mengendalikan diri.
Gamelan Pusaka
Didalam masyarakat Indonesia, masih ada sebagian orang yang percaya bahwa gamelan tertentu memiliki kekuatan gaib. Suara yang dikeluarkan dari alat musik gamelan seringkali dianggap mempunyai daya magis yang bisa mempengaruhi aura kehidupan manusia. Gamelan seperti ini biasanya bukan lagi sekedar alat musik tapi sudah dianggap sebagai pusaka, dan hanya dimainkan pada saat yang sangat istimewa. Oleh karena keistimewaan itu, gamelan demikian mendapat penghormatan sama halnya seperti menghormati leluhur dan keris pusaka.
Sebenarnya, penghormatan seperti kepada leluhur itu tidaklah berlebihan jika kita melihat dari rasa (roso) dan energi yang terlibat saat sang empu menempa dan membentuk gamelan itu hingga menghasilkan nada yang begitu indah hingga terkesan magis; atau saat sang pemilik gamelan itu dahulu sering menumpahkan perasaan dan pikiran dengan memainkan gamelannya seperti halnya seorang pianis meresap dalam permainan pianonya.
Sebagai alat musik yang dipandang memiliki daya magis, gamelan pusaka seringkali digunakan untuk mengiringi gendhing-gendhing Jawa yang memiliki makna sangat “khusus”, yang seolah mengandung misteriseperti misalnyagendhing Tunggul Kawung yang konon untuk “menahan/memindahkan” hujan, atau sebaliknya gendhing Mego Mendhung yang untuk mendatangkan hujan lebat. Meskipunsemua itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, para pemain gamelan (karawitan)bisa membuktikannya dengan “rasa” yang mereka miliki.
Mempertahankan Gamelan = Mempertahankan Budaya Bangsa
Dari pembahasan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa musik gamelan mengandung tatanan, tontonan sekaligus tuntunan yang sangat berguna bagi kehidupan bermasyarakat. Dari susunan pemain atau urutan permainan hingga syair yang dinyanyikan dalam musik gamelan penuh dengan nilai-nilai etika maupun estetika, dan selalu positif.Kalaupun dijaman sekarang ini dalam musik gamelan ada syair-syairyang “kurang baik”,hal itu sebenarnya lebih karena karakteristik sang seniman itu sendiri; mungkin sang seniman terlalu fokus pada situasi kontekstual atau fenomena yang sedang terjadi didalam masyarakat dan tidak menyaringnya secara cermat.
Dengan adanya kekayaan nilai-nilai luhur dan estetika dalam musik gamelan, dengan keunikan musik yang tiada duanya, sudah sepantasnya kita sebagai anak bangsa mempertahankan, melestarikan dan memajukan seni budaya ini. Selama ini, orang-orang dari luar negeri seperti Eropa, Amerika, Jepang dan Australia yang lebih tertarik, lebih menghargai dan sengaja datang ke Indonesia untuk belajar gamelan. Sedangkan selaku pemilik, sebagian besar kita anak bangsa Indonesia, malah malu, masa bodo atau enggan untuk belajar (tentang) gamelan.
Sebenarnya, menumbuhkan kecintaan anak bangsa terhadap budaya Nusantara termasuk gamelan bisa dimulai dari sekolah. Dalam kegiatan ekstra kurikulier, musik gamelan bisa menjadi salah satu dari pilihan jenis musik yang ada. Dengan pengenalan dan kegiatan musik gamelan, diharapkan kandungan nilai-nilai tatanan dan tuntunan kehidupan didalamnya dapat “ditransferkan” kepada para generasi muda. Selain itu, musik gamelan juga bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengelola keresahan generasi muda kita belakangan ini.
Akhir kata: SEBELUM GAMELAN DIKLAIM OLEH NEGARA LAIN SEBAGAI MILIK MEREKA, MARI KITA JAGA DENGAN CARA MENGHARGAI DAN MEMPELAJARI GAMELAN. Semoga berguna (jp)

Daftar Pustaka:
1)      Geertz, Clifford (1960). The Religion of Jawa, The University of Chicago Press.
2)      ….Gamelan,http://id.wikipedia.org/wiki/Gamelan
3)     ….Music on Voyager Record, http://voyager.jpl.nasa.gov/spacecraft/music.html
4)     ….Gamelan, www.seasite.niu.edu/Indonesian/budaya_bangsa/Gamelan
5)     Wiji Utomo, Yunanto (2006). Gamelan, Orkestra a la Jawa, www.yogyes.com
6)     Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Trustho di Yogyakarta
Sumber : http://terrajawa.net/

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

LimeExchange: Projects

Teman